Rabu, 16 April 2014

Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi



Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, di mana pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, dirasakan perlu pengaturan secara rinci dan jelas mengenai jasa konstruksi, yang kemudian dituangkan dalam di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi).
Jasa Konstruksi Secara Umum
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
Perizinan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi
Penyedia jasa konstruksi yang berbentuk badan usaha harus (i) memenuhi ketentuan perizinan usaha di bidang jasa konstruksi dan (ii) memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.
Berkenaan dengan izin usaha jasa konstruksi, telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 28/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 28/2000 (PP 4/2010) dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional.
Pengikatan Suatu Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas, dan dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Berkenaan dengan tata cara pemilihan penyedia jasa ini, telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP 29/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 29/2000.
Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai (i) para pihak; (ii) rumusan pekerjaan; (iii) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan; (iv) tenaga ahli; (v) hak dan kewajiban para pihak; (vi) tata cara pembayaran; (vii) cidera janji; (viii) penyelesaian perselisihan; (ix) pemutusan kontrak kerja konstruksi; (x) keadaan memaksa (force majeure); (xi) kegagalan bangunan; (xii) perlindungan pekerja; (xiii) aspek lingkungan. Sehubungan dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Uraian mengenai rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
Peran Masyarakat dan Masyarakat Jasa Konstruksi
Masyarakat juga memiliki peran dalam suatu penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi, diantaranya untuk (i) melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; (ii) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan konstruksi; (iii) menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi; (iv) turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi. Masyarakat jasa konstruksi ini diselenggarakan melalui suatu forum jasa konstruksi yang dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Forum ini bersifat mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi. Peran masyarakat jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam PP 4/2010.
Peran Pemerintah
Pemerintah juga memiliki peran dalam penyelenggaraan suatu jasa konstruksi, yaitu melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Pengaturan yang dimaksud dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan dan standar-standar teknis. Sedangkan pemberdayaan dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi. Selanjutnya, mengenai pengawasan, dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembinaan ini dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi. Pembinaan jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Gugatan Masyarakat
Dalam suatu penyelenggaraan usaha jasa konstruksi, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat mengalami kerugian sebagai akibat dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi tersebut. Karena itulah, masyarakat memiliki hak mengajukan gugatan perwakilan. Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat dari kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Sanksi
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran UU Jasa Konstruksi adalah berupa (i) peringatan tertulis; (ii) penghentian sementara pekerjaan konstruksi; (iii) pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; (iv) larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi (khusus bagi pengguna jasa); (v) pembekuan izin usaha dan/atau profesi; dan (vi) pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Selain sanksi administratif tersebut, penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenakan denda paling banyak sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak atau pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Helen Taurusia, S.H

Penggolongan Kontraktor



Kontraktor dapat digolongkan dalam 3 (tiga) jenis:
            • Kontraktor utama (main contractor)
            • Subkontraktor domestik
            • Subkontraktor nonstruktur
Kontraktor utama (main contractor) adalah seorang atau perusahaan yang ahli, berpengetahuan dan berpengalaman dalam bidang pengerjaan konsrtuksi dan penanganan proyek. Kontraktor utama inilah yang akan menandatangani kontrak kerja dengan pengembang (developer) untuk membangun rumah, atau keperluan lain, sesuai permintaan pengemban yang disepakati dalam kontrak kerja.
Dalam melaksanakan tugasnya, kontraktor utama dapat mengerjakan sendiri proyek tersebut atau melimpahkan sebagian

Kontrak Kerja Konstruksi


Latar Belakang
Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penyelenggaraan jasa konstruksi perlu diatur lebih lanjut untuk mewujudkan tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Peraturan mengenai jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU No. 18/1999”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (“PP No. 29/2000”) jo. Peraturan Pemerintah Nomor  59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 29/2000 (“PP No. 59/2010”).
Dalam suatu pekerjaan konstruksi, dikenal 2 (dua) pihak, yaitu pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa ini terikat dalam suatu hubungan kerja jasa konstruksi, dimana hubungan kerja tersebut diatur dan dituangkan dalam suatu kontrak kerja konstruksi.
Kerja Konstruksi
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 18/1999, disebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pada dasarnya, kontrak kerja konstruksi dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, untuk pekerjaan pelaksanaan, dan untuk pekerjaan pengawasan.
Merujuk kepada Pasal 23 ayat (6) PP No. 29/2000, kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Kontrak kerja konstruksi ini juga dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (dual language).
Berdasarkan PP 29/2000, kontrak kerja konstruksi dibedakan berdasarkan:
  1. bentuk imbalan, yang terdiri dari lump sum, harga satuan, biaya tambah imbalan jasa, gabungan Lump Sum dan harga satuan, atau aliansi;
  2. jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari: tahun tunggal, atau tahun jamak;
  3. cara pembayaran hasil pekerjaan, yaitu sesuai kemajuan pekerjaan, atau secara berkala.
Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-lurangnya harus mencakup mengenai:
  1. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
  2. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
  3. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, memuat jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
  4. tenaga ahli, memuat ketentuan jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
  5. hak dan kewajiban, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
  6. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
  7. cidera janji, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
  8. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
  9. pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
  10. keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
  11. kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
  12. perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; dan
  13. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.
Kontrak kerja konstruksi juga harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
  1. kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan
  2. pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten, sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.
Kontrak kerja konstruksi juga dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif, dimana insentif ini dapat berupa uang atau bentuk lainnya. Yang dimaksud dengan insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai yang dipersyaratkan.


Isrilitha Pratami Puteri
pekerjan kepada kotraktor lain selaku subkontraktor.

Surat Dukungan Bank atau Rekening Koran


Salah satu persyaratan tender yang paling merugikan peserta lelang terutama peserta lelang kualifikasi usaha kecil yaitu persyaratan memiliki surat keterangan dukungan keuangan dari bank pemerintah/swasta karena peserta lelang harus mengeluarkan biaya yang lumayan besar untuk mendapatkan surat dukungannya. Biaya administrasi yang diminta oleh pihak bank mencapai Rp. 200 – 300 ribu.
Peserta lelang yang menyampaikan Surat keterangan dukungan keuangan dari bank dianggap sudah memiliki Modal Kerja. Sesuai substansinya yaitu mengacu pada kemampuan keuangan peserta lelang maka surat keterangan dukungan keuangan dari bank ini sebenarnya dapat diganti dengan rekening koran peserta lelang dengan nilai paling kurang 10% (sepuluh perseratus) dari nilai paket.
LKPP melalui portal konsultasi.lkpp.go.id menjelaskan bahwa “surat dukungan bank merupakan data modal kerja yang mencantumkan nomor, tanggal, nama bank, serta nilai dukungan untuk paket pekerjaan tertentu. Dukungan keuangan dari bank diperlukan sejak penandatanganan kontrak serta tidak memiliki ketentuan masa berlaku. Dengan demikian, dukungan keuangan dapat diganti dengan rekening Koran Penyedia selama 3 (tiga) bulan terakhir, yang besarannya melebihi besaran dukungan yang disyaratkan”.
Dasar hukum tentang persyaratan memiliki dukungan keuangan dari bank diatur dalam  Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Perpres No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 19 Ayat (1) Huruf i Perpres No. 70 Tahun 2012 menyebutkan, Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: khusus untuk Pelelangan dan Pemilihan Langsung Pengadaan Pekerjaan Konstruksi memiliki dukungan keuangan dari bank.
Dalam lampiran Perpres No. 70 Tahun 2012 yakni Perka LKPP No. 14 Tahun 2012, dijelaskan bahwa “Peserta dinyatakan memenuhi persyaratan kualifikasi, apabila: memiliki surat keterangan dukungan keuangan dari bank pemerintah/swasta untuk mengikuti pengadaan pekerjaan konstruksi paling kurang 10% (sepuluh perseratus) dari nilai paket”. Selanjutnya, pada dokumen kualifiasi sebagaimana tercantum dalam Standar Dokumen Pengadaan yang dikeluarkan oleh LKPP, data tentang surat keterangan dukungan keuangan dari bank wajib diisi pada lembaran Modal Kerja.
Jika kita kaji makna Pasal 19 Ayat (1) Huruf i Perpres No. 70 Tahun 2012 yakni frase “memiliki dukungan keuangan dari bank” yang selanjutnya data tersebut diisi pada form isian kualifikasi pada lembaran modal kerja, maksud yang paling tepat untuk frase tersebut yaitu peserta lelang memiliki modal kerja berupa uang yang tersimpan di bank. Selain itu, harus diakui bahwa peserta lelang yang menyampaikan rekening koran, kualifikasinya jauh lebih baik dibanding peserta lelang yang menyampaikan surat keterangan dukungan keuangan dari bank, apa lagi kalau kita tinjau dari bentuk surat dukungan bank yang sama sekali tidak menunjukkan komitmen bank untuk mendukung modal kerja.
Dalam surat keterangan dukungan keuangan dari bank tercantum kalimat yang berbunyi, surat keterangan dukungan bank ini bukan merupakan kominmen bank untuk memberikan kredit kepada peserta lelang dan tidak mengikat bank dan penanda tanganannya”.